Wayang Kulit
Wayang kulit adalah teater boneka bayang-bayang di Indonesia. Kumpulan lakonnya banyak bersumber dari legenda dan kisah lisan sastra dari tradisi India dan Jawa. Wayang kulit disukai di Bali, Sumatera Selatan dan Jawa Barat, namun Jawa Tengah dianggap sebagian tempat asal bentuk teater ini. Dalang atau pemain boneka menggelar pertunjukkan di depan layar lebar dan menghidupkan wayang-wayangnya dengan menirukan berbagai suara dan bunyi-bunyian. Wayang terbuat dari kulit tipis dan ukuran tingginya mulai enam inci hingga lebih dari tiga kaki. Bentuk tubuh, ukuran, pewarnaan, jenis hiasan kepala, dan gaya pakaian bagi tokoh dibakukan oleh tradisi, sehingga tiap tokoh jelas dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Yang penting dari wayang bukan tokohnya melainkan gunungan-nya “Pohon kehidupan”, yang digunakan oleh dalang untuk menandai pembukaan ataupun pertunjukkan ataupun perubahan adegan.
Pertunjukan wayang digelar oleh pemain tunggal yang disebut dengan dalang. Dalang tidak hanya menguasai percakapan semua wayangnya, tetapi juga harus bercerita di antara adegan, melantunkan suluk untuk menciptakan suasana yang pas, dan mengarahkan gamelan pengiring pertunjukkan. Semuanya harus dilakukan selama memainkan wayang. Di atas dalang tergantung lampu, sinarnya jatuh pada boneka yang terukir untuk menghadirkan bayangan pada layar putih (kelir). Bayang-bayang yang tampak bergerak di sepanjang kelir, menari, bercinta atau berkelahi satu sama lain. Melalui keterampilan seni sang dalang, mereka meluncur keluar dari kegelapan, mempesona penonton dan menghilang secara gaib ke tempat asal mereka.
Wayang kulit adalah teater boneka bayang-bayang di Indonesia. Kumpulan lakonnya banyak bersumber dari legenda dan kisah lisan sastra dari tradisi India dan Jawa. Wayang kulit disukai di Bali, Sumatera Selatan dan Jawa Barat, namun Jawa Tengah dianggap sebagian tempat asal bentuk teater ini. Dalang atau pemain boneka menggelar pertunjukkan di depan layar lebar dan menghidupkan wayang-wayangnya dengan menirukan berbagai suara dan bunyi-bunyian. Wayang terbuat dari kulit tipis dan ukuran tingginya mulai enam inci hingga lebih dari tiga kaki. Bentuk tubuh, ukuran, pewarnaan, jenis hiasan kepala, dan gaya pakaian bagi tokoh dibakukan oleh tradisi, sehingga tiap tokoh jelas dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Yang penting dari wayang bukan tokohnya melainkan gunungan-nya “Pohon kehidupan”, yang digunakan oleh dalang untuk menandai pembukaan ataupun pertunjukkan ataupun perubahan adegan.
Pertunjukan wayang digelar oleh pemain tunggal yang disebut dengan dalang. Dalang tidak hanya menguasai percakapan semua wayangnya, tetapi juga harus bercerita di antara adegan, melantunkan suluk untuk menciptakan suasana yang pas, dan mengarahkan gamelan pengiring pertunjukkan. Semuanya harus dilakukan selama memainkan wayang. Di atas dalang tergantung lampu, sinarnya jatuh pada boneka yang terukir untuk menghadirkan bayangan pada layar putih (kelir). Bayang-bayang yang tampak bergerak di sepanjang kelir, menari, bercinta atau berkelahi satu sama lain. Melalui keterampilan seni sang dalang, mereka meluncur keluar dari kegelapan, mempesona penonton dan menghilang secara gaib ke tempat asal mereka.
Dalang sering berpuasa sehari sebelum pertunjukan. Selama pertunjukan ia minum sedikit teh untuk mengurangi ketegangan suaranya. Ia tidak bergeming dari tempat duduknya. Pertunjukkan dimulai dengan meletakkan sesaji (sajen) bunga, beras dan kemenyan diletakkan di depan layar. Dalang berdoa untuk memastikan keberhasilan pertunjukkannya. Dalang mengambil wayang berbentuk daun besar yang disebut gunungan (kayon), menyentuhkannya ke dahi serta meletakkannya di sebelah kanan atau kiri layar, ditancapkan tegak ke dalam sebatang gedebok pisang dan pertunjukan dimulai. Gerakan permainan dan nyanyian diiringi oleh gamelan lengkap. Lirik lagu dan sebagian cerita dituturkan dalam bahasa Kawi arkais dan sulit dimengerti. Dalang mengimprovisasi banyak dialog, sementara kisahan dan adengan baku tertentu terdiri dari ucapan pengisahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar